Selasa, 22 Desember 2009

AYO KITA JEMPUT PERTOLONGAN DARI ALLOH

   
AYO KITA JEMPUT
PERTOLONGAN ALLOH
                                      
40. (yaitu) orang-orang yang Telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali Karena mereka berkata: "Tuhan kami hanyalah Allah". dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah Telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid- masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa, Qs 22:40

Sifat lemah yang melekat erat pada diri kita, yang di sebut manusia in,i telah menghantarkan diri kita pada sebuah kedaan dimana kita tidak mampu berbuat apa apa dalam hidup ini, bahkan untuk hidup itu sendiri kita tidak mampu menjalaninya.jika tanpa adanya sebuah pertolongan.
Keadaan yang demikian ini ”memaksa” diri kita bergantung pada kekuatan supranatural di luar diri kita.Itulah kenapa dalam setiap usaha apapun namanya kita di ajari untuk tidak menepuk dada kita berhasil dalam sesuatu dan sebaliknya kitapun tidak di perkenankan olehNya untuk putus asa . jika belum mendapatkan sesuai dengan rencana
Karena dalam setiap yang kita hadapi itu berkaitan erat dengan energi kekuatan pertolongan di luar diri kita(baca pertolongan dari Alloh) maka, adalah suatu hal yang sangat lumrah jika kita harus lebih dekat dengan sumber kekuatan itu agar supaya kita tetap
” kuat”.
Tidak pada kehidupan pribadi atau komunitas,dan bukan hanya pada kehidupan individu atau da’wah kalau semua orientasi kehidupan kita itu dalam rangka ibadah dan untuk menolong agama Alloh, meninggikan kalimatulloh di muka bumi ini dari pelecehan orang orang kafir, maka sesulit apapun yang kita rasakan dalam perjuangan ini tidak berarti apa-apa. Karena kita yakin dengan janji Nya bahwa pertolongan alloh itu dekat dan segera datang ke kita. Bahkan lebih dari itu ,kitapun akan di teguhkan kedudukan kita
         
7. Hai orang-orang mukmin, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu Qs. 47 :7

Jika pertolongan ini telah menyapa kita sebesar apapun rintangan yang mengganggu kita,dan serumit apapun masalah itu, dengan izinNya, mudah bagi kita bisa mencari jalan keluarnya dengan penuh semangat.
Dan kitapun tanpa harus mencari kambing yang telah hitam untuk kita cat dengan warna hitam supaya menjadi kambing hitam dari ketidak sungguhan kita dalam berbuat sesuatu dalam menyelesaikan tugas-tugas/da’wah- da’wah kita.

Sementara itu disisi lain kita tau dan bisa melihat dengan sangat jelas bahwa ada yang di maksud dengan hukum kekekalan energi, hukum itu menyatakan apapun energi yang kita keluarkan semuanya akan kembali kepada kita lagi persis tidak berkurang. Meskipun tidak menutup kemungkinan kembalinya energi itu dalam wujud yang berbeda.
Jika hari ini kita lempar energi yang memudahkan orang lain untuk lebih mengenal Alloh (baca: pusat sumber kekuatan)maka kita pun akan di di mudahkan dan di beri kekuatan dalam setiap urusan dengan besaran energi yang kita keluarkan
Semangat hukum kekekalan ini harus kita influensikan terhadap umat Agar mereka mendapat energi baru dalam hidupnya,
Agar mereka tetap maksimal semangatnya,dan
Agar mereka tidak mudah menyerah sebelum menyerah itu
”di halalkan”.serta
Agar mereka memperoleh apa yang mereka ingin peroleh dalam kehidupanya dengan membuahkan rasa syukur dalam setiap ending perjuangannya.
Ayo kita jemput pertolongan Alloh, kita mudahkan energi kita ini utuk umat agar kita bisa meraih dan ber”mesraan ”dengan Ma’unah Alloh. Amin yarobbal ’alamin.
Wallohua’lam bishowab.
Sujarwa.
Tulisan ini telah di up load di kata solusi blogspot

CUKUPLAH HANYA DENGAN ALLOH SAJA

CUKUPLAH HANYA DENGAN ALLOH SAJA
   
                    
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?Qs 41:53

Kata cukup itu berarti tidak kurang namun juga tidak berlebih. Pas dengan kebutuhan cocok dengan keinginan dan sesuai dengan harapan.
Di saat kata cukup hadir dalam ranah kesadaran diri seorang muslim, maka ia akan mengantarkan pada keadaan diri yang bukan hanya sekedar mewujudkan keinginan-keinginan diri tapi juga mampu menjadi motor perubahan bagi lingkungan dimana mereka berada. Suasana hati yang menerima ke-cukup-an ini biasanya akan di ikuti oleh keadaan hati yang Syukur, Damai , Tenang dan Bahagia.
Syukur:karena sebagai hamba mereka masih di berikan ke pantasan untuk ber-olah hidup dengan fasilitas dari Tuhanya.Fasilitas yang tidak hanya sekedar simbol tapi sekaligus sebagai peng-uji-an setiap hamba yang menyatakan diri beriman kepadaNya.
Syukur perlu di lakukan karena tidak semua hamba di berikan kepantasan dalam kehidupanya.
Ke-pantas-an hanya di titipkan kepada hambanya yang ”mampu”:
Membuka ”wadah” diri yang besar untuk menerima amanah ilahiyah
Mampu memadukan antara spiritual dan profesional, yaitu maksimal terhadap Tuhan dan Maksimal terhadap sesama.
Damai itu indah dan damai itu menyenangkan walau tidak semua hamba mampu berdamai dengan keadaan dirinya. Perilaku damai hanya di peroleh oleh hamba yang merasa cukup dengan Alloh bukan dengan yang lain.
Tenang : kecukupan diri terhadap Alloh menjadikan prilaku hamba merasa tenang,karena dia melihat hidup itu adalah sebuah perjalanan yang di isi oleh upaya-upaya untuk menggapai kemungkinan-kemungkinan.Maka di sana masih terbentang lebar kesempatan,harapan bahkan pintu ampunan. Maka mukmin yang merasa cukup dengan tuhannya mereka tidak pernah mengenal gagal dan juga tidak pernah mengenal putus asa.yang ada pada dirinya lebih banyak pada harapan dan kemungkinan sebuah keberhsilan .
Bahagia: bila damai telah menyapanya tenang telah diraihnya maka kebahagian akan ikut bersama keduanya itulah buah dari ke-cukup-an seorang hamba bersama Alloh
Wallohua’lam bishowab
Oleh: Sujarwa
Mahasiswa Fakultas Agama Islam (FIAD semester V)
Unmuh SURABAYA
Laporan keuangan kajian
DUHA
FIAD Surabaya

KOSONG
DIGITAL MEDIA, PRODUSEN LAB BAHASA MODERN

Anda Membutuhkan! Silahkan contact kami
031 723 686 20 # 031 71020019.

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA

Pendahuluan
Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya”. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci. Sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif masing-masing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.
Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ahli Antropologi untuk memahami hakekat agama bagi dan dalam kehidupan manusia, Michael Banton telah mengedit sebuah buku1. Diantara tulisan-tulisan yang ada dalam buku tersebut, yang kemudian menjadi klasik karena sampai dengan sekarang ini masih digunakan acuan dalam berbagai tulisan mengenai agama, adalah tulisan Clifford2. Tulisan inilah yang telah menginspirasikan dan menjadi acuan bagi perkembangan teori-teori mengenai agama yang dilakukan oleh para ahli Antropologi.

Pendekatan Kebudayaan
Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama artinya dengan kata pendekatan nyata biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau dalam konsep orang awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu keadaan atau proses mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau untuk membujuk sesuatu tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati, maka dalam konsep ilmiah kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau pendekatan metodologi.
Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama dengan cara atau sudut pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang atau dikaji. Sehingga dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan sebagai suatu sudut pandang atau cara pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup dalam sudut dan cara pandang tersebut. Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah, mendefinisikan konsep kebudayaan yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini.
Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan manusia adalah kebudayaan3. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan atau penelitian; dan, bukannya pendekatan metodologi untuk pengamatan, penelitian atau kajian. Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya serta mendorong menghasilkan tindakan-tindakan dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam rangka pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan berisikan sistem-sistem penggolongan atau memilah-milah, menseleksi pilihan-pilihan dan menggabungkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut.
Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori,
1.Yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini biasanya dinamakan sebagai Pandangan Hidup atau World View;
2.Yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.4
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang sama-sama mereka pahami, maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Kebudayaan sebagai pengetahuan tentang dunia disekelilingnya akan relatif mudah berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya. Tetapi kebudayaan sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah.
Agama sebagai sistem budaya
Konsep mengenai kebudayaan yang di kemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mengkaji serta memahami agama.atau dalam kata lain di sinilah agama merupakan sistem budaya.
Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya.Sedangkan agama yang dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan oleh sebuah masyarakat; maka akan muncul sebuah keyakinan bahwa agama adalah sesuatu yang hanya sebatas yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.
Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi sistem nilai-nilai budaya dari kebudayaan yang ada tersebut.
Bila agama telah menjadi sistem dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata,prilaku yang ada dalam masyarakat itu Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain atau yang berbeda dari pembahsan tersebut, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.Apa gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama.
1.Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya.
2.adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan masyarakat yang ada.
3.Seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal( bukan mengikuti praktek budaya yang bertentangan) tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah prontal maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang merugikan da’wah yang ada. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesesuaian dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat itu
Penutup
Oleh karenanya agama sebagai sistem budaya, akan dapat di lakukan dengan mudah jika semua komponen masyarakat menyadari pentingnya sistem itu dalam agama dan budaya.
Kepustakaan
Geertz, C, 1966 Religion as a Cultural System. Dalam Anthropological Approaches to the Study of Religion. (Di-edit oleh Michael Banton). London: Tavistock.
Koentjaraningrat, 1988 Ilmu Antropologi. Jakarta: Bhratara.
Suparlan, P., 1966 Kebudayaan dan Pembangunan.
Dialog, No.21, Th.11. September.1988 Kata Pengantar. Dalam Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis (Di-edit oleh Ronald Robertson). Diterjemahkan oleh Fediani Syaifuddin. Jakarta: Rajawali.

BAIK DAN BURUK DI TINJAU DARI AKAL FILSAFAT DAN WAHYU

BAIK DAN BURUK
I DEFINISI BAIK
‘Baik’ dari segi bahasa merupakan terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Definisi baik itu adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan,dan memberikan kepuasan. sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik itu dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia.Pengertian baik dan buruk itu bersifat subyektif dan relatif, karena baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik bagi seseorang apabila hal itu berguna bagi tujuannya. Hal yang sama adalah mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan berguna bagi tujuannya.
DEFINISI BURUK
Di dalam bahasa Indonesia istilah buruk merupakan arti dari kata syarr /dan al-qabîh dalam bahasa Arab. Syarr, menurut Al-Raghib al-Ashfahani, adalah perbuatan manusia yang dibenci semua orang. Sedang Al-qabîh adalah semua benda yang dinyatakan cacat oleh mata, atau sebuah tindakan, perbuatan, sikap, dan perilaku yang dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani; serta dinyata-kan cacat oleh pikiran jernih dan bening.
PENENTUAN BAIK DAN BURUK
Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A Mengulas tentang beberapa aliran filsafat dalam menentukan baik dan buruk. Diantaranya adalah aliran sosialisme, hedonisme, intuisisme, utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evoulusisme. Berikut ini beberapa penjelasan beliau tentang hal di atas
Aliran sosialisme : Aliran ini mengatakan baik dan buruk itu ditentukan oleh adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan sebaliknya di sebut buruk
Aliran hedonisme : Menurut aliran ini perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis.
Aliran Intuisisme : Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Apabila ia melihat sesuatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya.
Aliran Utilitarianisme : Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika bagi masyarakat dan Negara disebut sosial
Aliran Vitalisme : Paham ini berpendapat yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih cenderung pada hukum rimba, hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
Aliran religiusisme Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Nya, jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya.
Aliran evoulusisme : Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kesempurnaanya. Hal ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga benda yang tak dapat dilihat atau diraba oleh indera, seperti akhlak dan moral.
Berbagai paham di atas dalam menentukan kebaikan, mereka mempunyai standart yang berbeda. Sosialisme standarisasinya adat istiadat, hedonisme kelezatan, kenikmatan dan nafsu biologis, intuisisme merujuk pada insting batin, utilitarianisme berpedoman pada berguna atau tidaknya suatu perbuatan, sedang religiousisme tolak ukurnya kehendak Tuhan dan evoulusisme berpijak pada perkembangan dari biasa saja menuju kesempurnaan.
BERDASAR AKAL DAN WAHYU
Pengertian Akal
Akal dalam Bahasa Arab memiliki arti mencegah dan menahan, dan ketika akal ini dihubungkan dengan sikap manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya sehingga dapat membedakan antara benar dan salah. Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi yang didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama
Pengertian wahyu
Wahyu adalah pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadapNya. Dalam ilmu kalam persoalan akal dan wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal baik dan buruk. Dalam aliran-aliran teologi Islam kususnya kaum Mu’tazilah mereka berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, baik dan buruk wajib diketahui oleh akal. sedang aliran Asy’ariyah, mengatakan bahwa akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan akal juga tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban bagi manusia, tetapi semua hal itu bisa diketahui dengan wahyu.
Pada pembahasan ini, dapatlah ditarik sebuah benang biru bahwa akal adalah pengetahuan atau ilmu yang diperoleh setelah melalui proses berpikir. Sedangakan wahyu adalah sesuatu yang diturunkan Tuhan kepada manusia lewat perantara Nabi sebagai sumber dari syariat.
Batasan akal dan wahyu Para filosof Islam berusaha menjelaskan batasan antara akal (filsafat) dan wahyu (syariat). Di antaranya:
Al Kindi: menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama.
Al Farabi: bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif.
Ibnu Sina: membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … maka filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya.
Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.
Kesesuaian akal dan wahyu
Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan, tindakan, dan menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, dll. Dan akal juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dll.. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan.
Syariat Alloh menegaskan dan memberi hidayah manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. sebab, jika husn wa qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat juga tak dapat ditetapkan, karena bohong misalnya jika menurut akal hal itu tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi AS adalah baik. Yang pasti jika baik dan buruk dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya,
II. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara umum ‘baik’ memiliki arti nilai yang merujuk kepada kebahagiaan, kepuasan, kenikmatan, berharga dan bermanfaat bagi hidup manusia. Sedangkan ‘buruk’ bermakna perbuatan, tindakan, sikap, dan perilaku yang dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani; serta dinyatakan cacat oleh pikiran jernih dan bening.
Terdapat beberapa paham dalam menentukan baik dan buruk. Sosialisme standarisasinya adat istiadat, hedonisme berdasarkan kelezatan, kenikmatan dan nafsu biologis, intuisisme merujuk pada insting batin, utilitarianisme berpedoman pada berguna atau tidaknya suatu perbuatan, sedang religiousisme tolak ukurnya kehendak Tuhan dan evoulusisme berpijak pada perkembangan dari biasa saja menuju kesempurnaan.
Mengenai akal dan wahyu dapatlah ditarik sebuah benang biru bahwa akal adalah pengetahuan atau ilmu yang diperoleh setelah melalui proses berpikir. Sedangkan wahyu adalah sesuatu yang diturunkan Alloh kepada manusia lewat perantara Nabi sebagai sumber dari syariat. Kaum Mu’tazilah lebih mengedepankan akal daripada wahyu. Sedangkan Asy’ariyah sebaliknya.
Adapun dalam menentukan baik dan buruk tidaklah menjadi hal yang tabu dan terlarang jika menggunakan tataran akal, selama apa yang dihasilkan akal tersebut tidak bertentangan dengan wahyu. Dalam arti, akal sebenarnya mampu menentukan nilai baik dan buruk, namun tetap harus sesuai dan dibatasi oleh wahyu.
III. DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Prof. Dr. Amsal. 2005. Tema-Tema Filsafat Islam. UIN Jakarta Press. Jakarta.
Mustofa, Drs. H.A. 1999. Akhlak Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung.
Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam. UI-Press.jakarta
WWW.katasolusi.blogspot.com
Nata, Prof. Dr. H. Abudin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Gafindo Pustaka. www.wisdom4all.com
. PENDAHULUAN 
    

Alhamdulillah segala puji dan syukur hanya milikNya tuhan Alloh SWT penguasa dan pemilik sekaligus sebagai pengatur seluruh jagad alam raya dan semesta ini.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Alloh Muhammad SAW.beserta seluruh keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umat nya tanpa kecuali, yakni mereka mereka (umat) yang masih konsisten dalam menjalankan sunah-sunah beliau dan taat terhadap perintah dan larang Alloh SWT dalam menjalani aktifitas kehidupan sehari hari yang ada di dunia ini..
Berbicara masalah baik dan buruk adalah pembicaraan yang mengarah pada sebuah permasalahan yang seakan akan bagai dua sisi mata uang, keberadaanya tidak bisa di pisahkan, karena keduanya merupakan pembanding antara satu dengan yang lainya.
Baik merupakan hal yang banyak di minati oleh banyak orang .karena dengan hal yang di sebut dengan “baik “ itu banyak keuntungan yang ingin didapat oleh seseorang.artinya banyak orang berharap mendapatkan ”keuntungan ” dari baik itu .
Demikian pula hal yang sebaliknya, bahwa apa yang tidak baik atau banyak orang menyebutnya dengan ”buruk” itu adalah sesuatu yang banyak di hindari oleh kebanyak-an orang ,meski pun sebenarnya banyak orang pula menyadari bahwa hal itu bukan perkara yang mudah untuk di laksanakan . maka hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan yang mendasar mengapa mesti harus di hindari? karena banyak orang tidak menyukainya
Itulah kenapa baik dan buruk itu saya sebutkan sebagai dua sisi mata uang.Keberadaanya tidak bisa di pisah dan berdiri sendiri-sendiri, keduanya saling terkait dan bahkan keduanya saling mengisi .Oleh sebab itu baik dan buruk merupakan pembanding antara satu dengan yang lainnya . Tidak bisa di katakan buruk jika tidak ada pembanding yang di sebut baik. Demikian pula tidak mungkin di sebutkan sebagai sesuatu yang baik jika tidak ada pembanding yang di katakan buruk. Sekali lagi inilah yag di katakan dan di ibaratkan sebagai dua sisi mata uang

Wallohu a’lam bishowab.

Surabaya 1 desember 2009




SUJARWA

oksidentalis kesadaran erofa yang terekspose

PENDAHULUAN

Gagasan tentang peradaban telah banyak dieskplorasi oleh para sejarawan, sosiolog, dan antropolog seperti Max Weber, Durkheim, Tynbee, Spengler, Sorokin, Christopher Dawson, dan lain sebagainya. Ide yang dikembangkan oleh pemikir Perancis abad ke-19 ini selalu diperlawankan dengan konsep “barbarisme”. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif karena mereka adalah masyarakat urban, hidup menetap, dan terpelajar. Konsep peradaban memberikan sebuah ‘tolok ukur’ yang dijadikan rujukan dalam memberikan penilaian terhadap berbagai dinamika kehidupan masyarakat, yang selama abad ke-19, orang-orang Eropa banyak melakukannya melalui usaha-usaha intelektual, diplomatis, dan politis dalam mengelaborasi kriteria yang diterapkan pada masyarakat-masyarakat non-Eropa yang dapat mereka anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban” dan mereka terima sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tataran masyarakat Eropa 1

Peradaban merupakan entitas bentuk yang lebih luas dari kebudayaan. Namun keduanya mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, dan pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Kultur dari kampung di Sumatera tentu berbeda dari kultur kampung di Sulawesi. Namun secara umum keduanya sama-sama memiliki kultur Indonesia yang membedakan mereka dari kultur perkampungan di Australia. Di sinilah Indonesia bisa menjadi sebuah peradaban. Menurut Durkheim dan Mauss, sebagaimana yang dikutip Huntington, peradaban dimaknai sebagai suatu corak wilayah moral yang melingkupi sejumlah bangsa, dengan kebudayaan masing-masing yang hanya menjadi suatu bentuk tertentu dari keseluruhan. Dapat dipahami, bahwa peradaban merupakan bentuk budaya paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari identitas budaya manusia yang dibedakan dari makhluk-makhluk lainya 2

Pada perspektif yang luas, peradaban-peradaban besar pada umumnya identik dengan agama-agama besar dunia. Mengapa demikian? Pengalaman selama ini membuktikan, bahwa orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa tetapi berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, seperti yang terjadi di Lebanon, Yugoslavia, dan Anak Benua (Subcontinent). Karena itu, orang-orang yang memiliki kesamaan ras tetapi beda agamanya, bisa dipisahkan melalui peradaban. Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang memiliki perbedaan ras tetapi memiliki kesamaan agama, bisa disatukan melalui peradaban. Arus utama agama itu ada dua: Islam dan Kristen. Pembedaan krusial antara berbagai golongan manusia berkaitan dengan nilai, keyakinan, institusi, dan struktur sosial mereka, bukan karena ciri fisikal seperti bentuk kepala dan warna kulit3

Setiap gerak langkah peradaban pasti menjumpai masa perkembangan maupun kemunduran. Ia besifat dinamis sekaligus jatuh, menyatu tetapi juga saling terpisah, serta di suatu saat tenggelam dan terkubur di dalam pasir-pasir masa. Fase-fase dari evolusi peradaban dapat dipahami melalui berbagai cara. Quigley melihat, bahwa peradaban-peradaban berkembang melalui tujuh tahapan: percampuran, pergerakan, perluasan, masa konflik, kekuasaan universal, keruntuhan, dan invasi.

Menurut Huntington, pada sudut pandang yang ekstrem, sebuah peradaban dan entitas politik bisa saja saling dipertemukan. Tionghoa menurut Lucian Pye adalah sebuah peradaban yang cenderung menjadi negara. Jepang adalah sebuah peradaban yang telah menjadi sebuah negara. Sebagian besar peradaban, bagaimanapun juga, memiliki lebih dari satu negara atau entitas politik. Dalam dunia modern, sebagian peradaban meliputi dua negara atau lebih. Banyak ilmuwan yang mengkalisifikasikan berbagai macam peradaban di dunia. Namun ada “suatu kesepakatan yang masuk akal”, Melko menyimpulkan setelah meninjau kembali berbagai referensi yang berkaitan dengan kurang lebih 12 peradaban besar yang masih eksis. Tujuh peradaban tidak lagi eksis yaitu Mesopotamia, Mesir, Kreta, Klasik, Byzantin, Amerika Tengah, Andea. Lima peradaban masih eksis yaitu Tionghoa, Jepang, India, Islam, dan Peradaban Barat 4
PERADABAN BARAT DAN PERADABAN TIMUR
Menjadi persolan tersendiri ketika ada dikotomi antara term “Barat” yang hingga kini selalu diidentikkan dengan superior (kuat) dan term “Timur” yang hampir lekat dengan kategori inferior (lemah). Istilah “Barat” secara umum digunakan untuk menunjukkan apa yang disebut dengan agama Kristen dan “Timur” untuk menggambarkan agama Islam.
Barat dengan demikian adalah sebuah peradaban yang dipandang sebagai ‘penunjuk arah’ dan tidak diidentikkan dengan nama orang-orang tertentu, agama, atau wilayah geografis. Sedangkan Timur bisa dikatakan sebagai pihak yang mengikuti atau mengekor ke mana saja ‘penunjuk arah’ itu bergerak. Pengidentifika-sian ini mengangkat peradaban dari historisitas, wilayah geografis, dan konteks kulutralnya 5 Secara historis, peradaban Barat adalah peradaban Eropa yang diwakili oleh Yunani-Romawi dan peradaban Timur adalah peradaban jazirah Arab yang diwakili Mesir, Cina, dan India.

Di era modern, peradaban Barat adalah peradaban Eroamerika (Euroamerican) atau Atlantik Utara. Eropa, Amerika, dan Atlantik Utara dapat dijumpai di dalam peta, sedangkan Barat tidak. Sebutan “Barat” juga digunakan untuk menunjukkan pada konsep “westernisasi” dan hal ini telah memberikan penafsiran yang menyesatkan dalam kaitan dengan westernisasi dan modernisasi 6 Pada akhirnya, akan dipaparkan secara detail tentang peradaban Barat dan Timur dalam perspektif kaum orientalis dan oksidentalis. Masing-masing memiliki pandangannya yang berbeda-beda.

Perspektif Kaum Orientalis
Menurut kaum orientalis, peradaban Barat merupakan pusat perada-ban yang harus diikuti oleh peradaban-peradaban yang lain. Orang di luar peradaban Barat harus bercermin untuk bisa menjadi seperti peradaban Barat. Karena itu, ada anggapan bahwa hampir sebagian besar penerima hadiah Nobel adalah orang-orang Timur (Asia, Afrika) dengan asumsi, seseorang dikatakan bisa sama kedudukannya dengan Barat ketika telah menerima hadiah Nobel. Karena itu, cara untuk menggambarkan dunia Timur adalah melalui penelitian terhadap ilmu, tradisi, peradaban, dan kebudayaan Islam. Tujuannya adalah untuk menyelami rahasia, watak, sifat, pemikiran, sebab kemajuan, dan kekuatan masyarakat Islam 7

Bagi kaum orientalis, Timur adalah sesuatu yang eksotis, erotis, asing, sebagai fenomena yang bisa dimengerti, bisa dipahami dalam jaringan kategori, tabel, dan konsep, yang melaluinya Timur terus-menerus dibatasi dan dikontrol. Para orientalis telah menciptakan tipologi watak, menyusun perbedaan antara Barat yang rasional dan Timur yang malas (Bryan S. Turner, 2002). Para orientalis klasik memposisikan dirinya sebagai “ego” yang menjadi subyek dan menganggap non Barat sebagai “the other” yang menjadi obyek. Karena pembedaan kategori ini, muncul kategori superioritas dalam “ego” Eropa, sedangkan akibat posisinya sebagai obyek yang dikaji juga mengakibatkan munculnya kategori inferioritas dalam diri “the Other” non Eropa8

Hingga saat ini, minat Barat untuk mengkaji tentang dunia Timur dan ketimuran dan bidang keislaman sangatlah tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya institusi dan berbagai media Barat yang melakukan kajian keislaman. Hasil-hasil kajian mereka banyak beredar dan tersebar luas di masyarakat (baik di negara-negara Barat maupun di Timur), serta tertuang dalam ensiklopedia, kamus, buku, artikel, jurnal, dan sejumlah majalah lainnya. Untuk konteks Indonesia, diakui atau tidak, karya dan pemikiran mereka telah banyak dikonsumsi masyarakat umum, terutama oleh warga akademisi (Dadi Nurhaedi, 2003).Apalagi dengan adanya teknologi semacam internet yang semakin mempermudah arus informasi tentang kajian-kajian orientalis. Belum lagi adanya buku-buku terjemahan yang semakin mempercepat pemahaman para pembaca dan masyarakat luas yang mengalami kendala bahasa.

Dapat digambarkan, bahwa kaum orientalis memposisikan peradaban Barat selalu pada posisi kuat dan memposisikan peradaban Timur hampir pasti lemah. Timur harus dikonsepsikan kembali jati dirinya sebagai Timur dalam perspektif Barat. Karena itu, menurut mereka, Timur harus banyak bercermin pada peradaban Barat dalam berbagai aspeknya. Kalau tidak, maka Timur akan tetap menjadi terbelakang dan tidak bisa menyeimbangi Barat.

Perspektif Kaum Oksidentalis
Menurut kaum oksidentalis, eksistensi peradaban Barat sekarang tidak bisa terlepas dari historisitas masa lalunya yang hingga kini sumber-sumbernya masih disembunyikan. Mereka tidak ingin mengungkapkan (kalau tidak mau disebut menyembunyikan dengan malu-malu) siapa sebenarnya dan bagaimana pembentukan Barat (baca: Eropa) hingga menjadi seperti sekarang ini.

Seorang intelektual terkemuka dan kontroversial asal Mesir, Hassan Hanafi menjelaskan, bahwa Eropa yang kini berdiri kokoh telah memiliki dua sumber kesadaran yang disembunyikannya dan tak terekspos. Kedua sumber itu adalah sumber Timur Lama dan lingkungan Eropa. Timur Lama di sini meliputi Cina, India, Persia, dan Peradaban Mesopotamia (Babilonia, Asyiria, Accad), Syam (negara Kan’an), dan sumber-sumber dari seluruh benua Afrika dan peradaban Islam yang muncul dalam filsafat skolastik pada masa akhir abad pertengahan. Lingkungan Eropa meliputi agama-agama paganis di Eropa yang dimulai pada abad kedua sebelum tersebarnya agama Kristen, mitos, tradisi, budaya, letak historis, lingkungan geografis Eropa yang merupakan perpanjangan Asia ke arah Barat dan perpanjangan Afrika ke arah utara 9

Secara geografis, historis, dan peradaban, Eropa merupakan perpanjangan Asia ke arah Barat. Bahasa Hindia-Eropa pun berasal dari Asia Tengah. Di samping sebagai alat komunikasi, bahasa mencerminkan ciri pemikiran, konsepsi tentang alam, dan nilai-nilai moral. Ketika Timur menjadi pusat peradaban dunia di bidang politik, sosial, ekonomi, agama, hukum, ilmu pengetahuan, sastra, kesenian, industri, sejarah dan filsafat, agama-agama di Timur telah mempengaruhi agama di Romawi. Muncullah agama-agama yang berasal dari Timur seperti Cybele dari Asia Kecil, agama Serapis dari Mesir yang berpindah ke Yunani dalam format baru, Phrygion yang ritus-ritusnya selalu muncul dalam perayaan musim semi, tuhan-tuhan Mabellona, dan lain sebagainya. Romawi mengadopsi ritus-ritus Mesir dan hari-hari besarnya. Hal inilah yang memberi warna baru dalam kesadaran Romawi10
Filsafat Yunani sendiri tidak bisa terlepas dari pengaruh Asia Kecil yang secara geografis dan historis bersinggungan dengan peradaban Mesopotamia dan agama Timur, utamanya dari Persia. Legenda Siris, Osiris, dan Horus sangat popular dalam mitologi Yunani. Phitagoras pun mengenal matematika Timur dan tasawufnya. Plato pernah belajar di Memphis selama kurang lebih lima belas tahun. Bahkan bisa jadi teorinya yang terkenal tentang idea diambil dari teori kesenian Mesir Kuno. Hanya saja teori kesenian Mesir Kuno diterapkan dalam lukisan yang kasat mata, sedangkan teori Plato berupa pemikiran yang abstrak11
Seluruh aspek iluminis tasawuf dalam filsafat Yunani, termasuk esoterisme Socrates, kontemplasi Thales, dan pakar fisika awal tentang kejadian alam dan kehidupan, merupakan kelanjutan peradaban Timur. Astronomi, ilmu sihir, dan dunia para normal di Yunani juga berasal dari Babilonia. Di India juga ditemukan ilmu hitung, meskipun seolah-olah ada kesan Phitagoras dan Thales tidak pernah berinteraksi dengan sekte-sekte di Timur. Selain berada di belakang sumber Yunani-Romawi, Timur Lama juga berada di belakang sumber Yahudi-Kristen. Taurat merupakan kumpulan literatur yang mempunyai padanan dalam literatur Babilonia, Asyiria, Accad, dan Kan’an. Mitologi Ibrani lama berasal dari mitologi Mesopotamia 12












SUMBER KESADARAN EROPA YANG TEREKSPOSE

Kesadaran Eropa memilik empat sumber. Yaitu sumber yang terekspose Yunani-Romawi dan Yahudi Kristen. Dan dua sumber lagi yang tidak pernah terekspose yaitu sumber Timur lama dan lingkungan eropa sendiri
Dua sumber yang pertama biasanya di perlihatkan untukmembangun image bahwa peradapan Eropa adalah hasil kreatifitas brilian dan orisinil dari mereka dan tidak terbatas ruang dan waktu. dan bukan di bangun atas dasar peradaban lama . Menurut mereka peradaban Eropa adalah peradaban yang ideal yang mewakili dunia dan contoh bagi peradaban dunia yang lainnya.
Sumber Islam dalam kesadaran Eropa hampir tidak pernah disebutkan. Karena Islam dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran Eropa. Islam lebih dekat ke Timur daripada Barat walaupun sebenarnya tingkat penyebaran Islam ke Timur sama dengan penyebaran ke Barat. Islam ada di seperempat bumi Eropa, di Andalusia, bagian utara Perancis, bagian utara Italia, Sicilia, Crete, Yunani, Cyprus, dan Eropa Timur. Ilmu pengetahuan Islam terutama filsafat, kalam, ilmu alam, matematika, menjadi salah satu penyangga kebangkitan Eropa modern 13

Salah satu penyebab disembunyikannya sumber-sumber tak terekspos adalah rasialisme yang terpendam dalam kesadaran Eropa. Rasialisme inilah yang menjadikan Eropa enggan mengakui eksistensi orang lain. Eropa diklaim sebagai pusat dan menempati puncak kekuatan serta menjadi pioner di dunia. Rasialisme bangsa Eropa terlihat jelas dalam ideologinya di abad lalu seperti nasionalisme, nazisme, fasisme, dan zionisme. Namun demikian, terungkaplah bahwa sumber-sumber kesadaran Eropa berasal dari Cina (Nedham), India (Nakamura), Islam (Garaudy), dan Timur Lama (Toynbee) (Hassan Hanafi, 2000).

Barat sebagai peradaban yang kosmopolit merupakan mitos yang harus dihancurkan kaum oksidentalis. Dengan metode fenomenologi dan dialektika-historisnya Hanafi, posisi Barat ingin dikembalikan pada posisi sejajar dalam peradaban manusia. Alhasil, tidak akan ada pusat peradaban dan cabang peradaban. Semua peradaban berada pada posisi yang sederajat. Satu sama lain saling berlomba untuk mencari yang terbaik. Kaum oksidentalis ingin mendudukan Barat sebagai obyek kajian, lalu melakukan pembebasan diri dari hegemoni Barat yang sarat kepentingan, dan pada akhirnya menghancurkan mitos bahwa Barat sebagai “kebudayaan kosmopolit”. Alhasil, terjadilah kesetaraan antar-peradaban. Cita-cita kaum oksidentalis tidak licik seperti kaum orientalis.

PENUTUP

Kedua sumber yang menjadi andalan utama bagi eropa untuk mempertahankan mati matian penemuan penemuan yang di anggapnya sebgai penemuan yang belum pernah terjadi sebelunya adalah hal yang utama .
Prioritas kesadaran eropa mempunyai kecenderungan terhadap sekularis-rasional bukan religius –tekstual hal ini terjadi karena mereka lebih mengakui bahwa sumber kesadaran utama bagi eropa adalah sumber yunani-romawi yang secara sejarahnya mereka mengunakan sistem yang sekularis-rasional. Biasanya sumber Yunani-Romawi lebih dahulu di sebutkan dari pada sumber dari Yahudi-Kristen. Mereka menyebutkanya sebagai bahwa sumber Yunani -Romawi adalah aksi sedangkan sumber yang berasal dari Yahudi Kristen adalah reaksi.Yang pertama adalah bernilai positif dan yang ke dua bernilai negatif.
Sehingga kesadaran Eropa akan selalu menjadi kesadaran paganisme yang mengutamakan sumber paganisme pula,walaupaun agama kristen telah menyebar dari timur ke barat.




DAFTAR PUSTAKA

Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta : Paramadina, 2000), hlm. 1-3.
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi (Bandung: Teraju, 2002).
Yusuf, Taufiq, Auham al-‘Almâniyyah hauna al-Risâlah wa al-Manhâj, Manshûrah : Dâr al-Wafâ, 1988
 Oksidentalisme, Sikap kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta : Paramadina, 2000
Nugroho, Anjar,site blogspot.com








MAKALAH


KESDARAN EROPA YANG TEREKSPOSE
Untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :OKSIDENTALIS














Oleh : Sujarwa
Semester V
Dosen pembimbing : Drs.A.Rozaq Nawawi.
FAKULTAS USHULUDIN
(Fiad)
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH
SURABAYA
2009

oksidentalis kesadaran erofa yang terekspose

PENDAHULUAN

Gagasan tentang peradaban telah banyak dieskplorasi oleh para sejarawan, sosiolog, dan antropolog seperti Max Weber, Durkheim, Tynbee, Spengler, Sorokin, Christopher Dawson, dan lain sebagainya. Ide yang dikembangkan oleh pemikir Perancis abad ke-19 ini selalu diperlawankan dengan konsep “barbarisme”. Masyarakat yang telah berperadaban dibedakan dari masyarakat primitif karena mereka adalah masyarakat urban, hidup menetap, dan terpelajar. Konsep peradaban memberikan sebuah ‘tolok ukur’ yang dijadikan rujukan dalam memberikan penilaian terhadap berbagai dinamika kehidupan masyarakat, yang selama abad ke-19, orang-orang Eropa banyak melakukannya melalui usaha-usaha intelektual, diplomatis, dan politis dalam mengelaborasi kriteria yang diterapkan pada masyarakat-masyarakat non-Eropa yang dapat mereka anggap sebagai “masyarakat yang telah berperadaban” dan mereka terima sebagai bagian dari sistem yang mendunia dalam tataran masyarakat Eropa 1

Peradaban merupakan entitas bentuk yang lebih luas dari kebudayaan. Namun keduanya mencakup nilai-nilai, norma-norma, institusi-institusi, dan pola pikir yang menjadi bagian terpenting dari suatu masyarakat dan terwariskan dari generasi ke generasi. Kultur dari kampung di Sumatera tentu berbeda dari kultur kampung di Sulawesi. Namun secara umum keduanya sama-sama memiliki kultur Indonesia yang membedakan mereka dari kultur perkampungan di Australia. Di sinilah Indonesia bisa menjadi sebuah peradaban. Menurut Durkheim dan Mauss, sebagaimana yang dikutip Huntington, peradaban dimaknai sebagai suatu corak wilayah moral yang melingkupi sejumlah bangsa, dengan kebudayaan masing-masing yang hanya menjadi suatu bentuk tertentu dari keseluruhan. Dapat dipahami, bahwa peradaban merupakan bentuk budaya paling tinggi dari suatu kelompok masyarakat dan tataran yang paling luas dari identitas budaya manusia yang dibedakan dari makhluk-makhluk lainya 2

Pada perspektif yang luas, peradaban-peradaban besar pada umumnya identik dengan agama-agama besar dunia. Mengapa demikian? Pengalaman selama ini membuktikan, bahwa orang-orang yang memiliki kesamaan etnis dan bahasa tetapi berbeda agama bisa saja saling membunuh satu sama lain, seperti yang terjadi di Lebanon, Yugoslavia, dan Anak Benua (Subcontinent). Karena itu, orang-orang yang memiliki kesamaan ras tetapi beda agamanya, bisa dipisahkan melalui peradaban. Begitu juga sebaliknya, orang-orang yang memiliki perbedaan ras tetapi memiliki kesamaan agama, bisa disatukan melalui peradaban. Arus utama agama itu ada dua: Islam dan Kristen. Pembedaan krusial antara berbagai golongan manusia berkaitan dengan nilai, keyakinan, institusi, dan struktur sosial mereka, bukan karena ciri fisikal seperti bentuk kepala dan warna kulit3

Setiap gerak langkah peradaban pasti menjumpai masa perkembangan maupun kemunduran. Ia besifat dinamis sekaligus jatuh, menyatu tetapi juga saling terpisah, serta di suatu saat tenggelam dan terkubur di dalam pasir-pasir masa. Fase-fase dari evolusi peradaban dapat dipahami melalui berbagai cara. Quigley melihat, bahwa peradaban-peradaban berkembang melalui tujuh tahapan: percampuran, pergerakan, perluasan, masa konflik, kekuasaan universal, keruntuhan, dan invasi.

Menurut Huntington, pada sudut pandang yang ekstrem, sebuah peradaban dan entitas politik bisa saja saling dipertemukan. Tionghoa menurut Lucian Pye adalah sebuah peradaban yang cenderung menjadi negara. Jepang adalah sebuah peradaban yang telah menjadi sebuah negara. Sebagian besar peradaban, bagaimanapun juga, memiliki lebih dari satu negara atau entitas politik. Dalam dunia modern, sebagian peradaban meliputi dua negara atau lebih. Banyak ilmuwan yang mengkalisifikasikan berbagai macam peradaban di dunia. Namun ada “suatu kesepakatan yang masuk akal”, Melko menyimpulkan setelah meninjau kembali berbagai referensi yang berkaitan dengan kurang lebih 12 peradaban besar yang masih eksis. Tujuh peradaban tidak lagi eksis yaitu Mesopotamia, Mesir, Kreta, Klasik, Byzantin, Amerika Tengah, Andea. Lima peradaban masih eksis yaitu Tionghoa, Jepang, India, Islam, dan Peradaban Barat 4
PERADABAN BARAT DAN PERADABAN TIMUR
Menjadi persolan tersendiri ketika ada dikotomi antara term “Barat” yang hingga kini selalu diidentikkan dengan superior (kuat) dan term “Timur” yang hampir lekat dengan kategori inferior (lemah). Istilah “Barat” secara umum digunakan untuk menunjukkan apa yang disebut dengan agama Kristen dan “Timur” untuk menggambarkan agama Islam.
Barat dengan demikian adalah sebuah peradaban yang dipandang sebagai ‘penunjuk arah’ dan tidak diidentikkan dengan nama orang-orang tertentu, agama, atau wilayah geografis. Sedangkan Timur bisa dikatakan sebagai pihak yang mengikuti atau mengekor ke mana saja ‘penunjuk arah’ itu bergerak. Pengidentifika-sian ini mengangkat peradaban dari historisitas, wilayah geografis, dan konteks kulutralnya 5 Secara historis, peradaban Barat adalah peradaban Eropa yang diwakili oleh Yunani-Romawi dan peradaban Timur adalah peradaban jazirah Arab yang diwakili Mesir, Cina, dan India.

Di era modern, peradaban Barat adalah peradaban Eroamerika (Euroamerican) atau Atlantik Utara. Eropa, Amerika, dan Atlantik Utara dapat dijumpai di dalam peta, sedangkan Barat tidak. Sebutan “Barat” juga digunakan untuk menunjukkan pada konsep “westernisasi” dan hal ini telah memberikan penafsiran yang menyesatkan dalam kaitan dengan westernisasi dan modernisasi 6 Pada akhirnya, akan dipaparkan secara detail tentang peradaban Barat dan Timur dalam perspektif kaum orientalis dan oksidentalis. Masing-masing memiliki pandangannya yang berbeda-beda.

Perspektif Kaum Orientalis
Menurut kaum orientalis, peradaban Barat merupakan pusat perada-ban yang harus diikuti oleh peradaban-peradaban yang lain. Orang di luar peradaban Barat harus bercermin untuk bisa menjadi seperti peradaban Barat. Karena itu, ada anggapan bahwa hampir sebagian besar penerima hadiah Nobel adalah orang-orang Timur (Asia, Afrika) dengan asumsi, seseorang dikatakan bisa sama kedudukannya dengan Barat ketika telah menerima hadiah Nobel. Karena itu, cara untuk menggambarkan dunia Timur adalah melalui penelitian terhadap ilmu, tradisi, peradaban, dan kebudayaan Islam. Tujuannya adalah untuk menyelami rahasia, watak, sifat, pemikiran, sebab kemajuan, dan kekuatan masyarakat Islam 7

Bagi kaum orientalis, Timur adalah sesuatu yang eksotis, erotis, asing, sebagai fenomena yang bisa dimengerti, bisa dipahami dalam jaringan kategori, tabel, dan konsep, yang melaluinya Timur terus-menerus dibatasi dan dikontrol. Para orientalis telah menciptakan tipologi watak, menyusun perbedaan antara Barat yang rasional dan Timur yang malas (Bryan S. Turner, 2002). Para orientalis klasik memposisikan dirinya sebagai “ego” yang menjadi subyek dan menganggap non Barat sebagai “the other” yang menjadi obyek. Karena pembedaan kategori ini, muncul kategori superioritas dalam “ego” Eropa, sedangkan akibat posisinya sebagai obyek yang dikaji juga mengakibatkan munculnya kategori inferioritas dalam diri “the Other” non Eropa8

Hingga saat ini, minat Barat untuk mengkaji tentang dunia Timur dan ketimuran dan bidang keislaman sangatlah tinggi. Hal ini terbukti dengan banyaknya institusi dan berbagai media Barat yang melakukan kajian keislaman. Hasil-hasil kajian mereka banyak beredar dan tersebar luas di masyarakat (baik di negara-negara Barat maupun di Timur), serta tertuang dalam ensiklopedia, kamus, buku, artikel, jurnal, dan sejumlah majalah lainnya. Untuk konteks Indonesia, diakui atau tidak, karya dan pemikiran mereka telah banyak dikonsumsi masyarakat umum, terutama oleh warga akademisi (Dadi Nurhaedi, 2003).Apalagi dengan adanya teknologi semacam internet yang semakin mempermudah arus informasi tentang kajian-kajian orientalis. Belum lagi adanya buku-buku terjemahan yang semakin mempercepat pemahaman para pembaca dan masyarakat luas yang mengalami kendala bahasa.

Dapat digambarkan, bahwa kaum orientalis memposisikan peradaban Barat selalu pada posisi kuat dan memposisikan peradaban Timur hampir pasti lemah. Timur harus dikonsepsikan kembali jati dirinya sebagai Timur dalam perspektif Barat. Karena itu, menurut mereka, Timur harus banyak bercermin pada peradaban Barat dalam berbagai aspeknya. Kalau tidak, maka Timur akan tetap menjadi terbelakang dan tidak bisa menyeimbangi Barat.

Perspektif Kaum Oksidentalis
Menurut kaum oksidentalis, eksistensi peradaban Barat sekarang tidak bisa terlepas dari historisitas masa lalunya yang hingga kini sumber-sumbernya masih disembunyikan. Mereka tidak ingin mengungkapkan (kalau tidak mau disebut menyembunyikan dengan malu-malu) siapa sebenarnya dan bagaimana pembentukan Barat (baca: Eropa) hingga menjadi seperti sekarang ini.

Seorang intelektual terkemuka dan kontroversial asal Mesir, Hassan Hanafi menjelaskan, bahwa Eropa yang kini berdiri kokoh telah memiliki dua sumber kesadaran yang disembunyikannya dan tak terekspos. Kedua sumber itu adalah sumber Timur Lama dan lingkungan Eropa. Timur Lama di sini meliputi Cina, India, Persia, dan Peradaban Mesopotamia (Babilonia, Asyiria, Accad), Syam (negara Kan’an), dan sumber-sumber dari seluruh benua Afrika dan peradaban Islam yang muncul dalam filsafat skolastik pada masa akhir abad pertengahan. Lingkungan Eropa meliputi agama-agama paganis di Eropa yang dimulai pada abad kedua sebelum tersebarnya agama Kristen, mitos, tradisi, budaya, letak historis, lingkungan geografis Eropa yang merupakan perpanjangan Asia ke arah Barat dan perpanjangan Afrika ke arah utara 9

Secara geografis, historis, dan peradaban, Eropa merupakan perpanjangan Asia ke arah Barat. Bahasa Hindia-Eropa pun berasal dari Asia Tengah. Di samping sebagai alat komunikasi, bahasa mencerminkan ciri pemikiran, konsepsi tentang alam, dan nilai-nilai moral. Ketika Timur menjadi pusat peradaban dunia di bidang politik, sosial, ekonomi, agama, hukum, ilmu pengetahuan, sastra, kesenian, industri, sejarah dan filsafat, agama-agama di Timur telah mempengaruhi agama di Romawi. Muncullah agama-agama yang berasal dari Timur seperti Cybele dari Asia Kecil, agama Serapis dari Mesir yang berpindah ke Yunani dalam format baru, Phrygion yang ritus-ritusnya selalu muncul dalam perayaan musim semi, tuhan-tuhan Mabellona, dan lain sebagainya. Romawi mengadopsi ritus-ritus Mesir dan hari-hari besarnya. Hal inilah yang memberi warna baru dalam kesadaran Romawi10
Filsafat Yunani sendiri tidak bisa terlepas dari pengaruh Asia Kecil yang secara geografis dan historis bersinggungan dengan peradaban Mesopotamia dan agama Timur, utamanya dari Persia. Legenda Siris, Osiris, dan Horus sangat popular dalam mitologi Yunani. Phitagoras pun mengenal matematika Timur dan tasawufnya. Plato pernah belajar di Memphis selama kurang lebih lima belas tahun. Bahkan bisa jadi teorinya yang terkenal tentang idea diambil dari teori kesenian Mesir Kuno. Hanya saja teori kesenian Mesir Kuno diterapkan dalam lukisan yang kasat mata, sedangkan teori Plato berupa pemikiran yang abstrak11
Seluruh aspek iluminis tasawuf dalam filsafat Yunani, termasuk esoterisme Socrates, kontemplasi Thales, dan pakar fisika awal tentang kejadian alam dan kehidupan, merupakan kelanjutan peradaban Timur. Astronomi, ilmu sihir, dan dunia para normal di Yunani juga berasal dari Babilonia. Di India juga ditemukan ilmu hitung, meskipun seolah-olah ada kesan Phitagoras dan Thales tidak pernah berinteraksi dengan sekte-sekte di Timur. Selain berada di belakang sumber Yunani-Romawi, Timur Lama juga berada di belakang sumber Yahudi-Kristen. Taurat merupakan kumpulan literatur yang mempunyai padanan dalam literatur Babilonia, Asyiria, Accad, dan Kan’an. Mitologi Ibrani lama berasal dari mitologi Mesopotamia 12












SUMBER KESADARAN EROPA YANG TEREKSPOSE

Kesadaran Eropa memilik empat sumber. Yaitu sumber yang terekspose Yunani-Romawi dan Yahudi Kristen. Dan dua sumber lagi yang tidak pernah terekspose yaitu sumber Timur lama dan lingkungan eropa sendiri
Dua sumber yang pertama biasanya di perlihatkan untukmembangun image bahwa peradapan Eropa adalah hasil kreatifitas brilian dan orisinil dari mereka dan tidak terbatas ruang dan waktu. dan bukan di bangun atas dasar peradaban lama . Menurut mereka peradaban Eropa adalah peradaban yang ideal yang mewakili dunia dan contoh bagi peradaban dunia yang lainnya.
Sumber Islam dalam kesadaran Eropa hampir tidak pernah disebutkan. Karena Islam dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar kesadaran Eropa. Islam lebih dekat ke Timur daripada Barat walaupun sebenarnya tingkat penyebaran Islam ke Timur sama dengan penyebaran ke Barat. Islam ada di seperempat bumi Eropa, di Andalusia, bagian utara Perancis, bagian utara Italia, Sicilia, Crete, Yunani, Cyprus, dan Eropa Timur. Ilmu pengetahuan Islam terutama filsafat, kalam, ilmu alam, matematika, menjadi salah satu penyangga kebangkitan Eropa modern 13

Salah satu penyebab disembunyikannya sumber-sumber tak terekspos adalah rasialisme yang terpendam dalam kesadaran Eropa. Rasialisme inilah yang menjadikan Eropa enggan mengakui eksistensi orang lain. Eropa diklaim sebagai pusat dan menempati puncak kekuatan serta menjadi pioner di dunia. Rasialisme bangsa Eropa terlihat jelas dalam ideologinya di abad lalu seperti nasionalisme, nazisme, fasisme, dan zionisme. Namun demikian, terungkaplah bahwa sumber-sumber kesadaran Eropa berasal dari Cina (Nedham), India (Nakamura), Islam (Garaudy), dan Timur Lama (Toynbee) (Hassan Hanafi, 2000).

Barat sebagai peradaban yang kosmopolit merupakan mitos yang harus dihancurkan kaum oksidentalis. Dengan metode fenomenologi dan dialektika-historisnya Hanafi, posisi Barat ingin dikembalikan pada posisi sejajar dalam peradaban manusia. Alhasil, tidak akan ada pusat peradaban dan cabang peradaban. Semua peradaban berada pada posisi yang sederajat. Satu sama lain saling berlomba untuk mencari yang terbaik. Kaum oksidentalis ingin mendudukan Barat sebagai obyek kajian, lalu melakukan pembebasan diri dari hegemoni Barat yang sarat kepentingan, dan pada akhirnya menghancurkan mitos bahwa Barat sebagai “kebudayaan kosmopolit”. Alhasil, terjadilah kesetaraan antar-peradaban. Cita-cita kaum oksidentalis tidak licik seperti kaum orientalis.

PENUTUP

Kedua sumber yang menjadi andalan utama bagi eropa untuk mempertahankan mati matian penemuan penemuan yang di anggapnya sebgai penemuan yang belum pernah terjadi sebelunya adalah hal yang utama .
Prioritas kesadaran eropa mempunyai kecenderungan terhadap sekularis-rasional bukan religius –tekstual hal ini terjadi karena mereka lebih mengakui bahwa sumber kesadaran utama bagi eropa adalah sumber yunani-romawi yang secara sejarahnya mereka mengunakan sistem yang sekularis-rasional. Biasanya sumber Yunani-Romawi lebih dahulu di sebutkan dari pada sumber dari Yahudi-Kristen. Mereka menyebutkanya sebagai bahwa sumber Yunani -Romawi adalah aksi sedangkan sumber yang berasal dari Yahudi Kristen adalah reaksi.Yang pertama adalah bernilai positif dan yang ke dua bernilai negatif.
Sehingga kesadaran Eropa akan selalu menjadi kesadaran paganisme yang mengutamakan sumber paganisme pula,walaupaun agama kristen telah menyebar dari timur ke barat.




DAFTAR PUSTAKA

Hassan Hanafi, Oksidentalisme, Sikap kita terhadap Tradisi Barat, (Jakarta : Paramadina, 2000), hlm. 1-3.
Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir Al-Qur’an Menurut Hassan Hanafi (Bandung: Teraju, 2002).
Yusuf, Taufiq, Auham al-‘Almâniyyah hauna al-Risâlah wa al-Manhâj, Manshûrah : Dâr al-Wafâ, 1988
 Oksidentalisme, Sikap kita terhadap Tradisi Barat, Jakarta : Paramadina, 2000
Nugroho, Anjar,site blogspot.com








MAKALAH


KESDARAN EROPA YANG TEREKSPOSE
Untuk memenuhi tugas
Mata Kuliah :OKSIDENTALIS














Oleh : Sujarwa
Semester V
Dosen pembimbing : Drs.A.Rozaq Nawawi.
FAKULTAS USHULUDIN
(Fiad)
UNIVERSITAS MUHAMADIYAH
SURABAYA
2009

Senin, 09 Februari 2009

Anakku

posisi kerja dalam kitab suci.net

Mukaddimah
“Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Qur’an, dan Dia tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan amal soleh, bahwa mereka akan mendapat balasan yang baik. Mereka (akan menikmati kehidupan sorga) kekal di dalamnya untuk selamanya”(al-Kahfi:1-3)
Al-Qur’an adalah pedoman begi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah: 2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-Nahl: 97).

Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional, semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar “hidup”, dalam kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Qur’an diturunkan sebagai “ruhan min amrina”, yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai “nur” (cahaya) yang tak kunjung padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).
II. Pembahasan
A. Posisi Kerja dalam Kitabullah
Al-Qur’an menyebut kerja dengan berbagai terminologi. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “amalun”, terdapat tidak kurang dari 260 musytaqqat (derivatnya), mencakup pekerjaan lahiriah dan batiniah. Disebut “fi’lun” dalam sekitar 99 derivatnya, dengan konotasi pada pekerjaan lahiriah. Disebut dengan kata “shun’un”, tidak kurang dari 17 derivat, dengan penekanan makna pada pekerjaan yang menghasilkan keluaran (output) yang bersifat fisik. Disebut juga dengan kata “taqdimun”, dalam 16 derivatnya, yang mempunyai penekanan makna pada investasi untuk kebahagiaan hari esok.
Pekerjaan yang dicintai Allah SWT adalah yang berkualitas. Untuk menjelaskannya, Al Qur’an mempergunakan empat istilah: “Amal Shalih”, tak kurang dari 77 kali; ‘amal yang “Ihsan”, lebih dari 20 kali; ‘amal yang “Itqan”, disebut 1 kali; dan ”al-Birr”, disebut 6 kali. Pengungkapannya kadang dengan bahasa perintah, kadang dengan bahasa anjuran. Pada sisi lain, dijelaskan juga pekerjaan yang buruk dengan akibatnya yang buruk pula dalam beberapa istilah yang bervariasi. Sebagai contoh, disebutnya sebagai perbuatan syaitan (al-Maidah: 90, al-Qashash:15), perbuatan yang sia-sia (Ali Imran: 22, al-Furqaan: 23), pekerjaan yang bercampur dengan keburukan (at-Taubah:102), pekerjaan kamuflase yang nampak baik, tetapi isinya buruk (an-Naml:4, Fusshilat: 25).
Al-Qur’an sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih, memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Qur’an menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah (adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau fardhu ‘ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut. Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan pesan Al-Qur’an (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral, apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik, tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar, yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
B. Kualitas Etik Kerja
Al-Qur’an menanamkan kesadaran bahwa dengan bekerja berarti kita merealisasikan fungsi kehambaan kita kepada Allah, dan menempuh jalan menuju ridha-Nya, mengangkat harga diri, meningkatkan taraf hidup, dan memberi manfaat kepada sesama, bahkan kepada makhluk lain. Dengan tertanamnya kesadaran ini, seorang muslim atau muslimah akan berusaha mengisi setiap ruang dan waktunya hanya dengan aktivitas yang berguna. Semboyangnya adalah “tiada waktu tanpa kerja, tiada waktu tanpa amal.’ Adapun agar nilai ibadahnya tidak luntur, maka perangkat kualitas etik kerja yang Islami harus diperhatikan.
Berikut ini adalah kualitas etik kerja yang terpenting untuk dihayati.
1. Ash-Shalah (Baik dan Bermanfaat)
Islam hanya memerintahkan atau menganjurkan pekerjaan yang baik dan bermanfaat bagi kemanusiaan, agar setiap pekerjaan mampu memberi nilai tambah dan mengangkat derajat manusia baik secara individu maupun kelompok. “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (seimbang) dengan apa yang dikerjakannya.” (al-An’am: 132)
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Qur’an menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual. Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam memilih suatu pekerjaan.
2. Al-Itqan (Kemantapan atau perfectness)
Kualitas kerja yang itqan atau perfect merupakan sifat pekerjaan Tuhan (baca: Rabbani), kemudian menjadi kualitas pekerjaan yang islami (an-Naml: 88). Rahmat Allah telah dijanjikan bagi setiap orang yang bekerja secara itqan, yakni mencapai standar ideal secara teknis. Untuk itu, diperlukan dukungan pengetahuan dan skill yang optimal. Dalam konteks ini, Islam mewajibkan umatnya agar terus menambah atau mengembangkan ilmunya dan tetap berlatih. Suatu keterampilan yang sudah dimiliki dapat saja hilang, akibat meninggalkan latihan, padahal manfaatnya besar untuk masyarakat. Karena itu, melepas atau menterlantarkan ketrampilan tersebut termasuk perbuatan dosa. Konsep itqan memberikan penilaian lebih terhadap hasil pekerjaan yang sedikit atau terbatas, tetapi berkualitas, daripada output yang banyak, tetapi kurang bermutu (al-Baqarah: 263).
3. Al-Ihsan (Melakukan yang Terbaik atau Lebih Baik Lagi)
Kualitas ihsan mempunyai dua makna dan memberikan dua pesan, yaitu sebagai berikut.
Pertama, ihsan berarti ‘yang terbaik’ dari yang dapat dilakukan.
Dengan makna pertama ini, maka pengertian ihsan sama dengan ‘itqan’. Pesan yang dikandungnya ialah agar setiap muslim mempunyai komitmen terhadap dirinya untuk berbuat yang terbaik dalam segala hal yang ia kerjakan.
Kedua ihsan mempunyai makna ‘lebih baik’ dari prestasi atau kualitas pekerjaan sebelumnya. Makna ini memberi pesan peningkatan yang terus-menerus, seiring dengan bertambahnya pengetahuan, pengalaman, waktu, dan sumber daya lainnya. Adalah suatu kerugian jika prestasi kerja hari ini menurun dari hari kemarin, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits Nabi saw. Keharusan berbuat yang lebih baik juga berlaku ketika seorang muslim membalas jasa atau kebaikan orang lain. Bahkan, idealnya ia tetap berbuat yang lebih baik, hatta ketika membalas keburukan orang lain (Fusshilat :34, dan an Naml: 125)
Semangat kerja yang ihsan ini akan dimiliki manakala seseorang bekerja dengan semangat ibadah, dan dengan kesadaran bahwa dirinya sedang dilihat oleh Allah SWT.
4. Al-Mujahadah (Kerja Keras dan Optimal)
Dalam banyak ayatnya, Al-Qur’an meletakkan kulaitas mujahadah dalam bekerja pada konteks manfaatnya, yaitu untuk kebaikan manusia sendiri, dan agar nilai guna dari hasil kerjanya semakin bertambah. (Ali Imran: 142, al-Maidah: 35, al-Hajj: 77, al-Furqan: 25, dan al-Ankabut: 69).
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah ”istifragh ma fil wus’i”, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang diperlukan melalui hukum ‘taskhir’, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
5. Tanafus dan Ta’awun (Berkompetisi dan Tolong-menolong)
Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyerukan persaingan dalam kualitas amal solih. Pesan persaingan ini kita dapati dalam beberapa ungkapan Qur’ani yang bersifat “amar” atau perintah. Ada perintah “fastabiqul khairat” (maka, berlomba-lombalah kamu sekalian dalam kebaikan) (al-Baqarah: 108). Begitu pula perintah “wasari’u ilaa magfirain min Rabbikum wajannah” `bersegeralah lamu sekalian menuju ampunan Rabbmu dan surga` Jalannya adalah melalui kekuatan infaq, pengendalian emosi, pemberian maaf, berbuat kebajikan, dan bersegera bertaubat kepada Allah (Ali Imran 133-135). Kita dapati pula dalam ungkapan “tanafus” untuk menjadi hamba yang gemar berbuat kebajikan, sehingga berhak mendapatkan surga, tempat segala kenikmatan (al-Muthaffifin: 22-26). Dinyatakan pula dalam konteks persaingan dan ketaqwaan, sebab yang paling mulia dalam pandangan Allah adalah insan yang paling taqwa (al Hujurat: 13). Semua ini menyuratkan dan menyiratkan etos persaingan dalam kualitas kerja.
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (ta’awun). Dengan demikian, obyek kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score kebajikan yang diraih saudaranya.
6. Mencermati Nilai Waktu
Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Sikap imani adalah sikap yang menghargai waktu sebagai karunia Ilahi yang wajib disyukuri. Hal ini dilakukan dengan cara mengisinya dengan amal solih, sekaligus waktu itu pun merupakan amanat yang tidak boleh disia-siakan. Sebaliknya, sikap ingkar adalah cenderung mengutuk waktu dan menyia-nyiakannya. Waktu adalah sumpah Allah dalam beberapa ayat kitab suci-Nya yang mengaitkannya dengan nasib baik atau buruk yang akan menimpa manusia, akibat tingkah lakunya sendiri. Semua macam pekerjaan ubudiyah (ibadah vertikal) telah ditentukan waktunya dan disesuaikan dengan kesibukan dalam hidup ini. Kemudian, terpulang kepada manusia itu sendiri: apakah mau melaksanakannya atau tidak.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya “Qimatul waqti fil Islam”: waktu adalah hidup itu sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun, kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asy’ari ra, sebagaimana dituturkan oleh Abu Ubaid, ”Amma ba’du. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok, karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai.” (Kitab al-Amwal, 10)
III. Penutup
Jihad Sebagai Etos
Ruhul jihad dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut kesabaran dan kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk murabathah, yakni pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap bentuk ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak rofesionalan dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain untuk menyelesaikan pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya. Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (al Baqarah: 188 )
Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalanm hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih ‘jauh panggang dari pada api’. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain, sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil semangat atau ‘apinya’. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Islam adalah pangkal segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.” (H.R.Thabrani)
Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan, kemudian secara pasti akan mengembalikan ‘izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang beriman (al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa lain.
Semangat inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing, demi lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin dijadikan target invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka dicuri waktunya dengan berbagai sarana dan acara hiburan yang menyuguhkan budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka, bersemailah di bumi Kaum Muslimin hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi, asal bapak senang (ABS) serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang bergaya wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab; disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw., keluarga, sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam barisan mereka. Aamin.

Rabu, 28 Januari 2009

jadilah saksi tuhan

”JADILAH SAKSI TUHAN”
Dan kami datangkan dari tiap-tiap umat seorang saksi,lalu kami berkata” tunjukanlah bukti kebenaranmu”,maka tahulah mereka bahwasanya yang hak itu kepunyaan Alloh dan lenyaplah dari mereka apa yang dahulunya mereka ada-adakan.Qs28:75

Bahkan manusia itu menjadi saksi atas dirinya sendiri Qs 75:14
Fasilitas yang kita nikmati saat ini sebagian besar adalah merupakan apa yang di sebut karya dari para pendahulu yang telah berhasil di berikan secara sambung menyambung kepada kita. Mereka telah berikhtiar dengan segala kemampuanya untuk berprestasi di bidangnya. Sehingga menghasilkan seperti apa yang saat ini kita nikmati. Mereka telah menyugguhkan kebenaran kebenaran,nilai-nilai,kemuliaan-kemuliaan yang telah di perjuangkannya sebelumnya. Yang kesemuanya itu seakan akan hanya tinggal memakainya saja kita saat ini.
Apa yang terpapar di atas adalah hasil karya generasi pada masa lalu, yang secara fasilitas mereka sangat terbatas jika di bandingkan saat ini tapi mereka mampu melahirkan karya yang menumental sebagai warisan untuk generasi selanjutnya .Jika hanya menerima aset pendahulu,kemudian kita hanya menggunakannya sebagai fasilitas hidup tanpa berkreasi dan berjuang untuk mempertahankan nilai-nilai yang telah ada berarti kita sedang tidak berperan apa-apa dalam hidup ini.
Padahal setiap individu di harapkan ikut ambil peran dalam rangka menggenapkan kesinambungan karya-karya sejarah, yang telah mampu menghantarkan tatanan nilai kehidupan, yang kita anut saat ini,melalui karya maksimal di bidang yang dia kuasai.
Rasulullah saw.berpesan agar setiap umatnya ikut menyambung estafet sejarah kehidupan yang telah beliau perjuangkan dengan sabdanya :”balighul anni walau ayatan.” Sampaikan apa yang kau peroleh dariku walau sebuah ayat(tanda)
Ayat dalam sabda tersebut adalah bermakna sebagai tanda
Tanda apakah yang di maksud oleh rasulullah saw.?
Yaitu tanda bahwa Alloh itu ada ,
Tanda bahwa Alloh itu Maha,
Tanda bahwa kita itu hadir di dunia ini,sebagai saksi bahwa Alloh itu ada dan Dia Maha.
Saksi bahwa kita adalah hamba yang hanya mengabdi kepadaNya.
Saksi bahwa kita adalah wakil wakil Alloh di muka bumi ini untuk memanage alam sesuai bidang yang kita kuasai.
Hadir sebagai saksi : memikul tanggung jawab,mengungkapkan nilai-nilai yang bisa di nikmati oleh pihak lain. Siapapun mereka dan dari golongan kelas apapun mereka.
Setiap mukmin di tuntut untuk menjadi saksi bahwa Alloh itu ada maka jangan sampai kita mendengar ada orang sakit akhirnya meninggal karena belum sempat terobati,ada orang teraniaya mati sebelum tertolong.ada orang yang kelaparan hingga dia harus mencuri.sebab setiap diri yang sakit setiap diri yang kelaparan,atau teraniaya, pasti dia berharap,dan berdo’a, maka jika apa yang mereka harapkan tidak terbukti apa yang dia do’akan tidak terkabul sementara dia berada pada situasi yang tidak menguntungkan, bisa jadi merekapun akan berprasangka ” tuhan ada apa tidak sih ? saya merintih saya meminta dan sedih, tapi Dia tidak mengutus siapapun dari hamba-hambaNya untuk menolong saya. Saya sudah memohon ribuan kali kepadaNya, tapi Dia tidak menjawab. Apakah doa-doa saya tidak di dengar Tuhan ataukah memang Tuhan itu tidak ada?”
Mengapa kita tidak menjadi saksi bahwa Tuhan itu ada, dengan tandanya kita datang menjenguk dan memberikan bantuan kepada yang sakit,memberi makan pada orang yang kelaparan memberikan bantuan kepada orang yang teraniaya dan membutuhkan pertolongan.memberikan solusi bagi mereka yang bermasalah merealisasikan harapan dan doa-doa mereka . dengan demikian kita telah di gunakan olehNya sebagai saksi bahwa tuhan itu ada dan Dia itu memang Maha .
Wallohu a’lam bishowab