Selasa, 22 Desember 2009

AGAMA SEBAGAI SISTEM BUDAYA

Pendahuluan
Agama, secara mendasar dan umum, dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan dunia gaib, khususnya dengan Tuhannya, mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya, dan mengatur hubungan manusia dengan lingkungannya”. Dalam definisi tersebut, agama dilihat sebagai sebuah doktrin atau teks suci. Sedangkan hubungan agama dengan manusia yang meyakininya dan khususnya kegiatan-kegiatan manusia penganut agama tersebut tidak tercakup dalam definisi tersebut. Para ahli ilmu-ilmu sosial, khususnya Antropologi dan Sosiologi, yang perhatian utamanya adalah kebudayaan dan masyarakat manusia, telah mencoba untuk melihat agama dari perspektif masing-masing bidang ilmu dan pendekatan-pendekatan yang mereka gunakan, dalam upaya mereka untuk dapat memahami hakekat agama dalam kehidupan manusia dan masyarakatnya.
Diantara berbagai upaya yang dilakukan oleh para ahli Antropologi untuk memahami hakekat agama bagi dan dalam kehidupan manusia, Michael Banton telah mengedit sebuah buku1. Diantara tulisan-tulisan yang ada dalam buku tersebut, yang kemudian menjadi klasik karena sampai dengan sekarang ini masih digunakan acuan dalam berbagai tulisan mengenai agama, adalah tulisan Clifford2. Tulisan inilah yang telah menginspirasikan dan menjadi acuan bagi perkembangan teori-teori mengenai agama yang dilakukan oleh para ahli Antropologi.

Pendekatan Kebudayaan
Pendekatan sebagai sebuah konsep ilmiah tidaklah sama artinya dengan kata pendekatan nyata biasa digunakan oleh umum atau awam. Kalau dalam konsep orang awam atau umum kata pendekatan diartikan sebagai suatu keadaan atau proses mendekati sesuatu, untuk supaya dapat berhubungan atau untuk membujuk sesuatu tersebut melakukan yang diinginkan oleh yang mendekati, maka dalam konsep ilmiah kata pendekatan diartikan sama dengan metodologi atau pendekatan metodologi.
Pengertian pendekatan sebagai metodologi adalah sama dengan cara atau sudut pandang dalam melihat dan memperlakukan yang dipandang atau dikaji. Sehingga dalam pengertian ini, pendekatan bukan hanya diartikan sebagai suatu sudut pandang atau cara pandang tetapi juga berbagai metode yang tercakup dalam sudut dan cara pandang tersebut. Dengan demikian konsep pendekatan kebudayaan dapat diartikan sebagai metodologi atau sudut dan cara pandang yang menggunakan kebudayaan sebagai kacamatanya. Permasalahannya kemudian, adalah, mendefinisikan konsep kebudayaan yang digunakan sebagai sudut atau cara pandang ini.
Di Indonesia, diantara para cendekiawan dan ilmuwan sosial, konsep kebudayaan dari Profesor Koentjaraningrat amatlah populer. Dalam konsep ini kebudayaan diartikan sebagai wujudnya, yaitu mencakup keseluruhan dari: (1) gagasan; (2) kelakuan dan (3) hasil-hasil kelakuan. Dengan menggunakan definisi ini maka seseorang pengamat atau peneliti akan melihat bahwa segala sesuatu yang ada dalam pikirannya, yang dilakukan dan yang dihasilkan oleh kelakuan manusia adalah kebudayaan3. Dengan demikian, maka kebudayaan adalah sasaran pengamatan atau penelitian; dan, bukannya pendekatan metodologi untuk pengamatan, penelitian atau kajian. Sebagai pedoman hidup sebuah masyarakat, kebudayaan digunakan oleh warga masyarakat untuk menginterpretasi dan memahami lingkungan hidupnya serta mendorong menghasilkan tindakan-tindakan dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam rangka pemenuhan berbagai kebutuhan hidup mereka. Untuk dapat digunakan sebagai acuan bagi interpretasi dan pemahaman, maka kebudayaan berisikan sistem-sistem penggolongan atau memilah-milah, menseleksi pilihan-pilihan dan menggabungkannya untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Dengan demikian setiap kebudayaan berisikan konsep-konsep, teori-teori, dan metode-metode untuk memilih, menseleksi hasil-hasil pilihan dan mengabungkan pilihan-pilihan tersebut.
Operasionalisasi dari kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat adalah melalui berbagai pranata-pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Pedoman moral, etika, dan estetika yang ada dalam setiap kebudayaan merupakan inti yang hakiki dalam setiap kebudayaan. Pedoman yang hakiki ini biasanya dinamakan sebagai nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini terdiri atas dua kategori,
1.Yaitu yang mendasar dan yang tidak dipengaruhi oleh kenyataan-kenyataan kehidupan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut. Hal ini biasanya dinamakan sebagai Pandangan Hidup atau World View;
2.Yang mempengaruhi dan dipengaruhi coraknya oleh kegiatan-kegiatan sehari-hari dari para pendukung kebudayaan tersebut yang dinamakan etos atau ethos.4
Kebudayaan sebagai pedoman bagi kehidupan masyarakat, memungkinkan bagi masyarakat tersebut untuk dapat saling berkomunikasi tanpa menghasilkan kesalahpahaman. Karena dengan menggunakan kebudayaan yang sama sebagai acuan untuk bertindak maka masing-masing pelaku yang berkomunikasi tersebut dapat meramalkan apa yang diinginkan oleh pelaku yang dihadapinya. Begitu juga dengan menggunakan simbol-simbol atau tanda-tanda yang sama-sama mereka pahami, maka mereka juga tidak akan saling salah paham. Kebudayaan sebagai pengetahuan tentang dunia disekelilingnya akan relatif mudah berubah dan berkembang sesuai dengan perubahan yang terjadi dalam lingkungan hidupnya, terutama dalam kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan bagi kehidupannya. Tetapi kebudayaan sebagai sebuah keyakinan, yaitu nilai-nilai budayanya, terutama keyakinan mengenai kebenaran dari pedoman hidupnya tersebut, maka kebudayaan cenderung untuk tidak mudah berubah.
Agama sebagai sistem budaya
Konsep mengenai kebudayaan yang di kemukakan seperti tersebut diatas itulah yang dapat digunakan sebagai alat atau kacamata untuk mengkaji serta memahami agama.atau dalam kata lain di sinilah agama merupakan sistem budaya.
Bila agama dilihat dengan menggunakan kacamata agama, maka agama diperlakukan sebagai kebudayaan; yaitu: sebagai sebuah pedoman bagi kehidupan masyarakat yang diyakini kebenarannya.Sedangkan agama yang dilihat dan diperlakukan sebagai pengetahuan dan keyakinan oleh sebuah masyarakat; maka akan muncul sebuah keyakinan bahwa agama adalah sesuatu yang hanya sebatas yang kudus dan sakral yang dapat dibedakan dari pengetahuan dan keyakinan sakral dan yang profan yang menjadi ciri dari kebudayaan.
Pada waktu kita melihat dan memperlakukan agama sebagai kebudayaan maka yang kita lihat adalah agama sebagai keyakinan yang hidup yang ada dalam masyarakat manusia, dan bukan agama yang ada dalam teks suci, yaitu dalam kitab suci Al Qur’an dan Hadits Nabi. Sebagai sebuah keyakinan yang hidup dalam masyarakat, maka agama menjadi bercorak lokal; yaitu, lokal sesuai dengan kebudayaan dari masyarakat tersebut. Mengapa demikian? untuk dapat menjadi pengetahuan dan keyakinan dari masyarakat yang bersangkutan, maka agama harus melakukan berbagai proses perjuangan dalam meniadakan nilai-nilai budaya yang bertentangan dengan keyakinan hakiki dari agama tersebut dan untuk itu juga harus dapat mensesuaikan nilai-nilai hakikinya dengan nilai-nilai budaya serta unsur-unsur kebudayaan yang ada, sehingga agama tersebut dapat menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari berbagai unsur dan nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian maka agama akan dapat menjadi sistem nilai-nilai budaya dari kebudayaan yang ada tersebut.
Bila agama telah menjadi sistem dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nilai-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserap dan tercermin dalam berbagai pranata,prilaku yang ada dalam masyarakat itu Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain atau yang berbeda dari pembahsan tersebut, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.Apa gunanya menggunakan pendekatan kebudayaan terhadap agama.
1.Yang terutama adalah kegunaannya sebagai alat metodologi untuk memahami corak keagamaan yang dipunyai oleh sebuah masyarakat dan para warganya.
2.adalah untuk dapat mengarahkan dan menambah keyakinan agama yang dipunyai oleh masyarakat tersebut sesuai dengan ajaran yang benar menurut agama, tanpa harus menimbulkan pertentangan dengan masyarakat yang ada.
3.Seringkali sesuatu keyakinan agama yang sama dengan keyakinan yang kita punyai itu dapat berbeda dalam berbagai aspeknya yang lokal. Tetapi, dengan memahami kondisi lokal( bukan mengikuti praktek budaya yang bertentangan) tersebut maka kita dapat menjadi lebih toleran terhadap aspek-aspek lokal, karena memahami bahwa bila aspek-aspek lokal dari keyakinan agama masyarakat tersebut dirubah prontal maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat yang pada akhirnya akan menghasilkan perubahan kebudayaan yang merugikan da’wah yang ada. Hal ini terjadi karena tidak adanya kesesuaian dengan kondisi-kondisi lokal lingkungan hidup masyarakat itu
Penutup
Oleh karenanya agama sebagai sistem budaya, akan dapat di lakukan dengan mudah jika semua komponen masyarakat menyadari pentingnya sistem itu dalam agama dan budaya.
Kepustakaan
Geertz, C, 1966 Religion as a Cultural System. Dalam Anthropological Approaches to the Study of Religion. (Di-edit oleh Michael Banton). London: Tavistock.
Koentjaraningrat, 1988 Ilmu Antropologi. Jakarta: Bhratara.
Suparlan, P., 1966 Kebudayaan dan Pembangunan.
Dialog, No.21, Th.11. September.1988 Kata Pengantar. Dalam Agama: Dalam Analisa Dan Interpretasi Sosiologis (Di-edit oleh Ronald Robertson). Diterjemahkan oleh Fediani Syaifuddin. Jakarta: Rajawali.

Tidak ada komentar: