Selasa, 22 Desember 2009

BAIK DAN BURUK DI TINJAU DARI AKAL FILSAFAT DAN WAHYU

BAIK DAN BURUK
I DEFINISI BAIK
‘Baik’ dari segi bahasa merupakan terjemahan dari kata khair dalam bahasa Arab, atau good dalam bahasa Inggris. Definisi baik itu adalah sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan,dan memberikan kepuasan. sesuai dengan keinginan. Dan yang disebut baik itu dapat pula berarti sesuatu yang mendatangkan rahmat, memberikan perasaan senang atau bahagia.Pengertian baik dan buruk itu bersifat subyektif dan relatif, karena baik bagi seseorang belum tentu baik bagi orang lain. Sesuatu itu baik bagi seseorang apabila hal itu berguna bagi tujuannya. Hal yang sama adalah mungkin buruk bagi orang lain, karena hal tersebut tidak akan berguna bagi tujuannya.
DEFINISI BURUK
Di dalam bahasa Indonesia istilah buruk merupakan arti dari kata syarr /dan al-qabîh dalam bahasa Arab. Syarr, menurut Al-Raghib al-Ashfahani, adalah perbuatan manusia yang dibenci semua orang. Sedang Al-qabîh adalah semua benda yang dinyatakan cacat oleh mata, atau sebuah tindakan, perbuatan, sikap, dan perilaku yang dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani; serta dinyata-kan cacat oleh pikiran jernih dan bening.
PENENTUAN BAIK DAN BURUK
Prof. Dr. H. Abudin Nata, M.A Mengulas tentang beberapa aliran filsafat dalam menentukan baik dan buruk. Diantaranya adalah aliran sosialisme, hedonisme, intuisisme, utilitarianisme, vitalisme, religiousisme, dan evoulusisme. Berikut ini beberapa penjelasan beliau tentang hal di atas
Aliran sosialisme : Aliran ini mengatakan baik dan buruk itu ditentukan oleh adat istiadat yang berlaku dan dipegang teguh oleh masyarakat. Orang yang mengikuti dan berpegang teguh pada adat dipandang baik, dan sebaliknya di sebut buruk
Aliran hedonisme : Menurut aliran ini perbuatan yang baik adalah perbuatan yang banyak mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis.
Aliran Intuisisme : Paham ini berpendapat bahwa pada setiap manusia mempunyai kekuatan insting batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Apabila ia melihat sesuatu perbuatan, ia mendapat semacam ilham yang dapat memberi tahu nilai perbuatan itu, lalu menetapkan hukum baik dan buruknya.
Aliran Utilitarianisme : Secara harfiah utilis berarti berguna. Menurut paham ini bahwa yang baik adalah yang berguna. Jika ini berlaku bagi perorangan, disebut individual, dan jika bagi masyarakat dan Negara disebut sosial
Aliran Vitalisme : Paham ini berpendapat yang baik ialah yang mencerminkan kekuatan dalam hidup manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai yang baik. Paham ini lebih cenderung pada hukum rimba, hukum siapa yang kuat dan menang itulah yang baik.
Aliran religiusisme Menurut paham ini yang dianggap baik adalah perbuatan yang sesuai dengan kehendak Tuhan, sedangkan perbuatan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Dalam paham ini keyakinan teologis, yakni keimanan kepada Tuhan sangat memegang peranan penting, karena tidak mungkin orang mau berbuat sesuai dengan kehendak Nya, jika yang bersangkutan tidak beriman kepada-Nya.
Aliran evoulusisme : Mereka yang mengikuti paham ini mengatakan bahwa segala sesuatu yang ada di alam ini mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kesempurnaanya. Hal ini bukan hanya berlaku pada benda-benda yang tampak, seperti binatang, manusia, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi juga benda yang tak dapat dilihat atau diraba oleh indera, seperti akhlak dan moral.
Berbagai paham di atas dalam menentukan kebaikan, mereka mempunyai standart yang berbeda. Sosialisme standarisasinya adat istiadat, hedonisme kelezatan, kenikmatan dan nafsu biologis, intuisisme merujuk pada insting batin, utilitarianisme berpedoman pada berguna atau tidaknya suatu perbuatan, sedang religiousisme tolak ukurnya kehendak Tuhan dan evoulusisme berpijak pada perkembangan dari biasa saja menuju kesempurnaan.
BERDASAR AKAL DAN WAHYU
Pengertian Akal
Akal dalam Bahasa Arab memiliki arti mencegah dan menahan, dan ketika akal ini dihubungkan dengan sikap manusia maka bermakna orang yang mencegah dan menahan hawa nafsunya sehingga dapat membedakan antara benar dan salah. Tentu yang kita maksudkan dalam pembahasan agama dan akal disini adalah akal yang berfungsi dalam argumentasi yang didasarkan atas proposisi-proposisi yang pasti dan jelas, sehingga dapat diketahui bahwa pengetahuan-pengetahuan yang bersifat pasti dan filosofis (argumentasi filsafat) tidak memiliki kontradiksi dengan doktrin-doktrin suci agama
Pengertian wahyu
Wahyu adalah pengkhabaran dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadapNya. Dalam ilmu kalam persoalan akal dan wahyu ini dihubungkan dengan dua masalah pokok yang masing-masing bercabang dua. Masalah pertama ialah soal mengetahui Tuhan dan masalah kedua soal baik dan buruk. Dalam aliran-aliran teologi Islam kususnya kaum Mu’tazilah mereka berpendapat bahwa segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantaraan akal, baik dan buruk wajib diketahui oleh akal. sedang aliran Asy’ariyah, mengatakan bahwa akal tidak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan akal juga tidak dapat mengetahui kewajiban-kewajiban bagi manusia, tetapi semua hal itu bisa diketahui dengan wahyu.
Pada pembahasan ini, dapatlah ditarik sebuah benang biru bahwa akal adalah pengetahuan atau ilmu yang diperoleh setelah melalui proses berpikir. Sedangakan wahyu adalah sesuatu yang diturunkan Tuhan kepada manusia lewat perantara Nabi sebagai sumber dari syariat.
Batasan akal dan wahyu Para filosof Islam berusaha menjelaskan batasan antara akal (filsafat) dan wahyu (syariat). Di antaranya:
Al Kindi: menerangkan kesesuaian akal dan wahyu, antara filsafat dan syariat. Menurut keyakinan dia, jika filsafat adalah ilmu yang mendalami hakikat-hakikat realitas sesuatu, maka mengingkari filsafat identik mengingkari hakikat sesuatu, yang pada akhirnya menyebabkan ketidaksempurnaan pengetahuan. Oleh sebab itu, tidak ada kontradiksi antara agama dan filsafat. Dan jika terdapat kontradiksi secara lahiriah antara wahyu dan pandangan-pandangan filsafat, maka cara pemecahannya adalah melakukan penafsiran dan ta’wil terhadap teks-teks suci agama.
Al Farabi: bahwa agama dan filsafat sebagai dua sumber pengetahuan yang memiliki satu hakikat. Dia menafsirkan kedudukan seorang Nabi dan filosof, berdasarkan empat tingkatan akal teoritis, dimana Nabi adalah akal musthafa (akal yang paling tinggi) dan seorang filosof adalah akal fa’âl (akal aktif), jadi perbedaan nabi dan filosof sama dengan perbedaan kedua akal tersebut, akal musthafa lebih tinggi dari akal aktif.
Ibnu Sina: membagi dua filsafat yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Poin penting dalam pandangan Ibnu Sina tentang hubungan akal dan wahyu adalah pandangannya tentang dasar pembagian filsafat praktis dimana berpijak pada syariat Ilahi. Ibnu Sina berkata, ” … maka filsafat praktis dibagi menjadi (al-hikmah al –amaliyyah) yaitu pengaturan negara (al-hikmah al-madaniyyah), pengaturan keluarga (al-hikmah al-manziliyyah), dan akhlak dan etika (al-hikmah al-khulqiyyah), ketiga bagian ini didasarkan pada syariat Tuhan dan kesempurnaan batasan-batasannya dijelaskan dengan syariat serta pengamalannya sesudah manusia memperoleh pengetahuan teoritisnya terhadap undang-undang dan rincian pengamalannya.
Konklusi dari pembahasan ini adalah akal memiliki kemampuan dalam membangun argumentasi yang kokoh tentang pandangan dunia agama, tetapi akal tak mampu memahami secara partikular dan mendetail batasan dan tujuan hakiki agama. Oleh sebab itu, manusia harus merujuk kepada agama dan syariat yang diturunkan Tuhan lewat Nabi-Nya.
Kesesuaian akal dan wahyu
Dalam teologi Islam ada konsep “kebaikan dan keburukan dalam timbangan akal” (husn wa qubh al-aql), artinya akal dapat menetapkan dan menilai berbagai perbuatan, tindakan, dan menghukumi baik dan buruknya atau benar dan salahnya. Akal menetapkan perbuatan baik Seperti keadilan, kejujuran, dll. Dan akal juga menilai perbuatan buruk seperti kezaliman, menganiaya dll.. Dalam konteks ini, akal dengan tanpa bantuan wahyu dapat menunjukkan kepada manusia mana keadilan dan kezaliman, kejujuran dan kebohongan.
Syariat Alloh menegaskan dan memberi hidayah manusia supaya tidak mengingkari keputusan akal. sebab, jika husn wa qubh al-aql ini dinafikan, maka syariat tidak dapat ditetapkan. Artinya jika akal tidak dapat menetapkan kebaikan dan keburukan, maka syariat juga tak dapat ditetapkan, karena bohong misalnya jika menurut akal hal itu tidaklah buruk, maka manusia tidak bisa menilai perkataan jujur para Nabi-nabi AS adalah baik. Yang pasti jika baik dan buruk dalam pandangan akal dinafikan, maka sangat banyak hal dan masalah yang dipertanyakan keabsahan dan kebenarannya,
II. PENUTUP
A. KESIMPULAN
Secara umum ‘baik’ memiliki arti nilai yang merujuk kepada kebahagiaan, kepuasan, kenikmatan, berharga dan bermanfaat bagi hidup manusia. Sedangkan ‘buruk’ bermakna perbuatan, tindakan, sikap, dan perilaku yang dibenci oleh semua orang; ditolak oleh akal sehat dan nurani; serta dinyatakan cacat oleh pikiran jernih dan bening.
Terdapat beberapa paham dalam menentukan baik dan buruk. Sosialisme standarisasinya adat istiadat, hedonisme berdasarkan kelezatan, kenikmatan dan nafsu biologis, intuisisme merujuk pada insting batin, utilitarianisme berpedoman pada berguna atau tidaknya suatu perbuatan, sedang religiousisme tolak ukurnya kehendak Tuhan dan evoulusisme berpijak pada perkembangan dari biasa saja menuju kesempurnaan.
Mengenai akal dan wahyu dapatlah ditarik sebuah benang biru bahwa akal adalah pengetahuan atau ilmu yang diperoleh setelah melalui proses berpikir. Sedangkan wahyu adalah sesuatu yang diturunkan Alloh kepada manusia lewat perantara Nabi sebagai sumber dari syariat. Kaum Mu’tazilah lebih mengedepankan akal daripada wahyu. Sedangkan Asy’ariyah sebaliknya.
Adapun dalam menentukan baik dan buruk tidaklah menjadi hal yang tabu dan terlarang jika menggunakan tataran akal, selama apa yang dihasilkan akal tersebut tidak bertentangan dengan wahyu. Dalam arti, akal sebenarnya mampu menentukan nilai baik dan buruk, namun tetap harus sesuai dan dibatasi oleh wahyu.
III. DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, Prof. Dr. Amsal. 2005. Tema-Tema Filsafat Islam. UIN Jakarta Press. Jakarta.
Mustofa, Drs. H.A. 1999. Akhlak Tasawuf. Pustaka Setia. Bandung.
Nasution, Harun. 2008. Teologi Islam. UI-Press.jakarta
WWW.katasolusi.blogspot.com
Nata, Prof. Dr. H. Abudin. 2003. Akhlak Tasawuf. PT Raja Gafindo Pustaka. www.wisdom4all.com
. PENDAHULUAN 
    

Alhamdulillah segala puji dan syukur hanya milikNya tuhan Alloh SWT penguasa dan pemilik sekaligus sebagai pengatur seluruh jagad alam raya dan semesta ini.
Sholawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Alloh Muhammad SAW.beserta seluruh keluarganya, para sahabatnya dan seluruh umat nya tanpa kecuali, yakni mereka mereka (umat) yang masih konsisten dalam menjalankan sunah-sunah beliau dan taat terhadap perintah dan larang Alloh SWT dalam menjalani aktifitas kehidupan sehari hari yang ada di dunia ini..
Berbicara masalah baik dan buruk adalah pembicaraan yang mengarah pada sebuah permasalahan yang seakan akan bagai dua sisi mata uang, keberadaanya tidak bisa di pisahkan, karena keduanya merupakan pembanding antara satu dengan yang lainya.
Baik merupakan hal yang banyak di minati oleh banyak orang .karena dengan hal yang di sebut dengan “baik “ itu banyak keuntungan yang ingin didapat oleh seseorang.artinya banyak orang berharap mendapatkan ”keuntungan ” dari baik itu .
Demikian pula hal yang sebaliknya, bahwa apa yang tidak baik atau banyak orang menyebutnya dengan ”buruk” itu adalah sesuatu yang banyak di hindari oleh kebanyak-an orang ,meski pun sebenarnya banyak orang pula menyadari bahwa hal itu bukan perkara yang mudah untuk di laksanakan . maka hal ini kemudian menimbulkan sebuah pertanyaan yang mendasar mengapa mesti harus di hindari? karena banyak orang tidak menyukainya
Itulah kenapa baik dan buruk itu saya sebutkan sebagai dua sisi mata uang.Keberadaanya tidak bisa di pisah dan berdiri sendiri-sendiri, keduanya saling terkait dan bahkan keduanya saling mengisi .Oleh sebab itu baik dan buruk merupakan pembanding antara satu dengan yang lainnya . Tidak bisa di katakan buruk jika tidak ada pembanding yang di sebut baik. Demikian pula tidak mungkin di sebutkan sebagai sesuatu yang baik jika tidak ada pembanding yang di katakan buruk. Sekali lagi inilah yag di katakan dan di ibaratkan sebagai dua sisi mata uang

Wallohu a’lam bishowab.

Surabaya 1 desember 2009




SUJARWA

Tidak ada komentar: